Tradisi Khusus Pengolahan Sawah Dalam Budaya Sunda

22/03/17 : Maret 22, 2017
Baca Juga
Untuk postingan kali ini saya akan membahas tentang tradisi tata cara khusus pengolahan sawah menurut budaya Sunda

Ternyata orang-orang terdahulu terutama yang hidup di wilayah pasundan mempunyai tradisi khusus dalam mengolah lahan pertaniannya terutama dalam mengoalah lahan sawah. Mereka begitu mengistimewakan padi dalam kehidupannya. 


Sehingga banyak ritual khusus yang dilakukan dalam hal cara menanam padi di sawah sampai panen.

Bagi anda yang ingin mengetahui lebih dalam silakan bacanya dilanjutkan ya, Sobat !

Tahapan Pengolahan Sawah Dalam Traidisi Budaya Sunda : 

Dari semua pekerjaan petani di Pasundan, yang lebih penting yaitu menanam padi. Sejak ditanam sampai menjadi nasi, terdapat berbagai pantrangan yang harus dipatuhi. 

Yang menjadi sebab, yaitu karena adanya anggapan bahwa dunia ini adalah tempat menanam padi dan padi itu ada yang mendiaminya (ngageugeuh). 

Kalau ini tidak dihormati, tentunya akan membuat kesulitan dalam menggarap tanah dan padi tersebut. Orang yang ahli dalam tatacara menanam padi disebut wali puun.

Cara-cara ketika akan memulai menanam padi seandainya orang tersebut merasa kurang ahli maka akan menemui seorang wali puun terlebih dahulu sambil membawa kemenyan. 

Oleh wali puun kemenyan itu akan dijampi-jampi, dengan maksud untuk menolak setan- siluman yang mendiami sawah tersebut, atau minta ijin pada yang mendiaminya. 

Malamnya langsung mengadakan selamatan membuat tumpeng, bubur putih, bubur merah, dengan maksud memohon keselamatan bahwa besok pagi akan memulai mengolah sawah untuk musim itu.

Pagi harinya orang yang akan menggarap tersebut berangkat ke sawah sambil membawa kemenyan dari wali puun. 

Kemudian kemenyan tersebut dibakar dekat selokan/ parit sawah. Setelah membakar kemenyan tersebut kemudian telapak tangan dilumuri dengan minyak kelapa (minyak keletik), terus memegang cangkul. 

Sambil memegang cangkul tersebut sambil membacakan jampi (jangjawokan) minta ijin kepada yang mendiami sawah tersebut. Setelah itu baru proses mengolah sawah (mencangkul sawah) dapat  dimulai.

Menggarap atau mengolah lahan sawah dengan menggunakan cangkul disebut ngawalajar. yaitu mencakul sawah pada tahap pertama. 

Tahapan selajutnya disebut malik, mindi, ngangler, terakhir ngalelep dan ngacak. Biasanya para petani sebelum menggarap sawahnya terlebih dahulu membuat lahan untuk persemaian disebut pabinihan kemudian butiran padi tersebut ditebarkan yang disebut dengan tebar.

Setelah umur padi semaian sekitar 7 hari istilah lainnya sumihung . Kira-kira setelah 20 hari  benih padi  disebut bubuni tikukur, dan setelah benih padi berumur 40 hari disebut dubuat.. 

Sehari sebelum waktu panen benih padi (babut)  tiba biasanya dilakukan ritual kias yaitu menebarkan beras ke seluruh lahan persemaian dipercaya agar nantinya nasi tersebut pulen.

Pada sore harinya ketika besok hari waktunya memulai menanam (mitembeyan tandur) benih padi biasanya di rumah pemilik sawah tersebut dilakukan selamatan nasi tumpeng. Semua tetangga dekat diundang termasuk wali puun . 

Pagi harinya pemilik sawah diantar oleh wali puun serta beberapa perempuan yang akan melaksanakan tandur ( menanam padi) menuju ke sawah garapan. 

Sesampainya di sawah wali puun kembali mengadakan upacara kemudian menanamkan benih padi sebanyak tiga kali. Setelah itu baru dilanjutkan oleh para perempuan yang akan menanam benih padi tersebut.
Keadaan benih padi yang ditanam setelah seminggu disebut lilir , setelah berumur 20 hari disebut gumuda ;setelah 30 hari kemudian dibersihakan dari rumput-rumpu liar (gulma) disebut ngarambet.ngabaladah. setelah 50 hari disebut mapak daun ; kira-kira 70 hari padi mengalami yang disebut nyiram, kira-kira 90 hari padi reuneuh (sudah berisi), setelah 100 hari disebut celetu, setelah 130 hari disebut rampak, kira-kira 140 hari dinamai tungkul ; kira-kira 150 hari hari diistilahkan beuneur hejo; kira-kira160 hari disebut sumurawung ; kira-kira 170 hari keadaan padi sudah siap dipanen disebut jujumaahan.
Pada waktu padi nyiram sudah menjadi adat, karena pada saat itu diibaratkan pada manusia yang sedang masa ngidam suka ingin yang buah yang masam, maka pemilik sawah suka membuatkan rujak bebek seperti rujak yang selamatan tingkeban, kalau yang belum membaca artikel saya sebelumnya : 4 jenis upacara adat Sunda pada masa kehamilan, silakan dibuka dahulu.
 
Kemudian rujak bebek tersebut ditempatkan pada sehalai daun kemudian ditaruh di dekat hulu-wotan (parit sawah). Sejak tanaman padi menginjak masa nyiram maka para petani sudah memperlakukan tanaman padinya dengan hati-hati. 
Rupa-rupa usaha dilakukannya termasuk kias dan palakiah yang dianggap dapat menyelamatkan tanaman padinya dari serangan hama terutama dari serangan burung. 

Dengan cara menyimpan bebegig (orang-orangan sawah) di tengah sawah.
Sehari sebelum waktunya memanen tanaman padi, pemilik sawah kembali mengadakan ritual selamatan dengan mengundang para tetangga terdekat. 

Pada ritual ini selain nasi tumpeng juga disediakan kupat, leupeut,tantang-angin, juga rujak manis tujuh rupa. Begitu pun pada pagi harinya kembali mengadakan ritual yang dipimpin oleh wali puun.
Padi hasil panen kemudian semuanya dijemur sampai benar-benar kering. Kemudian dibersihkan dari daun-daun keringnya yang masih menempel, setelah itu baru diikat ,proses mengikatnya disebut mangkek. 
Setelah padi diikat kemudian dimasukan ke dalam lumbung padi (leuit), menurut kebiasaan sebelum masa penyimanan tiga sampai tujuh hari pintu lumbung padi tersebut tidak boleh ditutup. 

Selanjutnya setalah  tiga sampai tujuh hari wali pun dan pemilik padi tersebut masuk ke lumbung untuk proses netepkeun. 

Pada sore harinya kembali mengadakan hajatan. Setelah 40 hari setelah menutup pintu lumbung dan juga persediaan padi sudah habis baru padi tersebut boleh diambil dengan cara tertentu.
Aturan mengolah padi hingga menjadi beras atau nasi pun tidak sembarangan. Proses menumbuk padi tahap pertama disebut ngaguguran. Setelah gabah dipisahkan setelah itu ditumbuk di lisung menggunakan halu.
Untuk orang Sunda pada jaman dahulu sangat berhati-hati dalam mengolah padi menjadi beras dan nasi. Oleh sebab itu banyak pantrangan-pantrangan yang tidak boleh dilanggar, diantaranya yaitu :
1.   Sejak awal menanam padi hingga masa panen tiba, pemilik sawah tidak boleh mengolah masakan dengan cara dipepes (mais), karena dikhawatirkan tanaman padinya ayeuh manis
2.  Tidak boleh makan sambil siduru (memansakan badan didepan perapian), jika dilanggar tanaman padinya akan rusak oleh hewan (hama)
3.    Tidak boleh membuang air panas ke halaman rumah, supaya padinya berisi
4.    Tidak boleh membakar daun bekas pembungkus pepesan, karena membuat banyak tikus
5.  Tidak boleh memukul-mukul didnding rumah (bilik) saat malam hari, karena dapat mendatangkan banyak tikus.
6.   Ketika berada di sawah atau pada malam hari walaupun berada di rumah tidak boleh menyebut ‘beurit/ tikus’ harus menggunakan nama lain yaitu dengan sebutan ‘panganten’ atau ‘ Ki Bagus’ maksudnya supaya tanaman padi tidak dirusak oleh tikus.
Nah, sobat itulah postingan saya tentang cara bercocok tanam dalam adat budaya Sunda. Semoga setelah Anda membaca artikel ini semakin dalamnya rasa memiliki dan mencintai akan kekayaan budaya local (daerah), karena di dalamnya terkandung nilai dan ajaran –ajaran arif.

Semoga bermanfaat !

Share Articles